Di wilayah pedesaan utara Aleppo, Suriah, ketidakpastian melanda para guru dan pegawai yang pernah berada di bawah naungan lembaga eks pemerintahan Interim Government (SIG). Setelah lembaga-lembaga itu dibubarkan, muncul kejutan budaya yang mengakibatkan para tenaga pengajar dan pegawai administratif terbengkalai tanpa kepastian masa depan. Situasi ini semakin pelik karena dukungan finansial yang sempat diberikan oleh Turki ikut dihentikan.
Para guru kini berada dalam kondisi sulit. Mereka kehilangan pekerjaan, pendapatan, dan status yang selama ini menopang kehidupan sehari-hari. Beberapa dari mereka bahkan disebut sebagai pengungsi internal, yang sudah terusir dari rumah-rumah mereka akibat perang. Dengan beban ganda, mereka kini menghadapi masa depan yang semakin suram di tengah transisi pemerintahan baru di Aleppo.
Video yang beredar menunjukkan sekelompok guru melakukan aksi unjuk rasa di depan Direktorat Pendidikan Aleppo. Dalam rekaman itu, para pengajar menuntut agar marginalisasi yang mereka alami segera diakhiri. Mereka meminta untuk dipekerjakan secara permanen dalam sistem pendidikan resmi yang kini dikelola oleh pemerintahan Aleppo.
Aksi ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, mereka juga telah menggelar demonstrasi di sejumlah desa di pedesaan utara. Namun, upaya mereka kala itu tidak mendapatkan tanggapan berarti dari pihak berwenang. Karena itulah, protes kemudian digeser ke pusat administrasi di Aleppo dengan harapan bisa mengetuk hati para pengambil kebijakan.
Momen yang memicu kekecewaan besar adalah ketika subsidi dari Turki dihentikan saat mereka tengah mengikuti ujian kelayakan. Para guru menganggap hal ini sebagai bentuk ketidakadilan karena mereka merasa sedang berjuang untuk bertahan, namun justru kehilangan sokongan di saat genting.
Mereka menegaskan bahwa pengorbanan yang telah dilakukan selama perang seharusnya mendapat penghargaan. Menurut mereka, setelah kehilangan rumah, harta benda, bahkan anggota keluarga, hak mereka untuk bekerja dan diakui sebagai tenaga pendidik resmi sudah seharusnya diberikan.
Aksi protes ini tidak hanya soal gaji. Bagi para guru, ini adalah soal martabat dan pengakuan. Mereka ingin diakui sebagai bagian dari masyarakat yang ikut membangun kembali Suriah, bukan sekadar pengungsi atau pegawai sementara tanpa masa depan yang jelas.
Sejumlah pengamat menilai bahwa pembubaran lembaga eks SIG memang membawa dampak administratif yang rumit. Alih-alih meleburkan lembaga lama, seharusnya pemerintah Aleppo mengkekalkan struktur yang ada dengan mengubahnya menjadi badan pengelola otonom.
Dengan pola otonomi, lembaga itu bisa tetap berjalan tanpa membebani langsung keuangan pemerintahan Aleppo yang masih dalam tahap awal konsolidasi. Model semacam ini diyakini akan memberi ruang transisi yang lebih tenang bagi para pegawai dan guru yang terdampak.
Skema transisi itu idealnya berlangsung antara lima hingga sepuluh tahun. Dalam kurun waktu tersebut, perekonomian Aleppo diharapkan membaik, sehingga pemerintah bisa secara penuh menyerap para pegawai ke dalam struktur resminya tanpa risiko keuangan yang berlebihan.
Namun kenyataan di lapangan jauh berbeda. Pembubaran mendadak membuat ratusan orang kehilangan posisi tanpa rencana keberlanjutan yang jelas. Hal ini yang kini mendorong demonstrasi berulang di pedesaan dan pusat kota Aleppo.
Protes di depan Direktorat Pendidikan menjadi simbol keresahan yang menumpuk. Para guru berharap suara mereka akan sampai ke Damaskus, bahkan berencana melanjutkan aksi jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Sebagian guru menyebut, perjuangan mereka bukan sekadar untuk pekerjaan, melainkan untuk mengembalikan kehidupan normal yang telah hancur akibat perang panjang. Mereka ingin kembali menjadi bagian dari masyarakat produktif dengan peran yang jelas.
Direktorat Pendidikan Aleppo sendiri belum memberikan tanggapan resmi terkait tuntutan itu. Diamnya pihak berwenang justru menambah ketegangan dan rasa frustasi di kalangan guru.
Di sisi lain, masyarakat sekitar ikut bersimpati. Banyak yang menilai para guru adalah kelompok yang paling berjasa dalam membentuk generasi baru, sehingga sudah seharusnya mereka diprioritaskan dalam program pemulihan.
Tanpa adanya kepastian, risiko besar adalah hilangnya semangat para guru untuk tetap tinggal di wilayah tersebut. Tidak sedikit yang mulai memikirkan jalan keluar lain, termasuk migrasi atau mencari pekerjaan serabutan.
Hal ini tentu merugikan sistem pendidikan Aleppo yang sedang dibangun kembali. Kekurangan tenaga pengajar bisa menjadi hambatan serius dalam upaya pemulihan sosial dan budaya di wilayah pascaperang.
Para analis politik menyebut, jika pemerintah Aleppo gagal menemukan solusi, maka gelombang protes bisa meluas ke sektor lain. Kepercayaan publik terhadap pemerintahan baru pun berpotensi melemah.
Kisah para guru pedesaan Aleppo ini menjadi potret rapuhnya transisi pascaperang. Tanpa kebijakan transisi yang matang, korban terbesar selalu rakyat kecil yang justru paling berperan dalam membangun kembali kehidupan sehari-hari.
Kini semua mata tertuju pada pemerintah Aleppo, apakah mereka mampu memberikan jalan keluar yang realistis bagi para guru dan pegawai yang ditinggalkan. Sebab, hanya dengan kepastian dan keadilan, kepercayaan masyarakat bisa kembali ditegakkan.
Pasca lengsernya rezim Bashar al-Assad, Suriah kini memasuki babak baru yang penuh harapan sekaligus tantangan. Pemerintahan baru yang terbentuk di Damaskus membawa misi besar: menyatukan kembali ekonomi yang terpecah selama bertahun-tahun konflik. Namun, jalan menuju integrasi penuh tidaklah mudah.
Selama lebih dari satu dekade, Suriah hidup dalam realitas ekonomi yang terfragmentasi. Ada ekonomi yang berkembang di bawah dua pemerintahan penyelamat, yakni Syrian Salvation Government (SG) di Idlib dan Syrian Interim Government (SIG) di Azaz. Kini, keduanya telah melebur ke dalam pemerintahan pusat di Damaskus.
Penyatuan ini otomatis membuat seluruh struktur ekonomi dan birokrasi harus diseragamkan. Namun, kebijakan itu membawa dampak langsung yang cukup berat, terutama bagi para pegawai pemerintahan di Idlib dan Azaz. Mereka yang sebelumnya menikmati gaji relatif lebih tinggi, kini harus menerima standar gaji Damaskus yang jauh lebih rendah.
Kondisi ini menimbulkan rasa kecewa di kalangan aparatur sipil. Banyak dari mereka merasa dikorbankan demi keseragaman. Pemerintah baru berupaya meyakinkan bahwa penyesuaian gaji adalah langkah sementara, hingga stabilisasi ekonomi tercapai.
Tidak hanya pegawai, masyarakat umum pun merasakan dampak serupa. Perbedaan harga kebutuhan pokok dan daya beli antarwilayah menjadi sumber ketegangan. Idlib dan Azaz yang sempat bergeliat dengan dukungan eksternal, kini harus menyesuaikan dengan standar ekonomi nasional.
Di sisi lain, wilayah Latakia dan Tartus menghadapi gejolak sosial yang berbeda. Selama era Assad, khususnya di bawah perlindungan elite Alawite, daerah pesisir itu mendapat keistimewaan ekonomi. Kini, perlakuan istimewa tersebut dihapuskan, digantikan dengan prinsip kesetaraan nasional.
Perubahan itu memicu keterkejutan sosial di kalangan masyarakat Alawite. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa gaji, tunjangan, dan fasilitas tidak lagi seistimewa dulu. Pemerintah baru menegaskan, keadilan ekonomi menjadi fondasi utama rekonstruksi nasional.
Hal serupa juga terjadi di Suwaida, basis masyarakat Druze. Kelompok ini sebelumnya memiliki akses istimewa ke sumber daya dan posisi politik. Kini, mereka diperlakukan sama dengan warga lain. Transisi ini menimbulkan kekhawatiran akan ketegangan sosial, mengingat kelompok Druze memiliki pengaruh politik yang cukup besar.
Sementara itu, integrasi wilayah Kurdi di timur laut juga belum sepenuhnya dimulai. Syrian Democratic Forces (SDF) masih menjadi entitas otonom yang memiliki sistem administratif sendiri. Jika kelak bergabung, para pegawai dan masyarakat Kurdi pun harus menerima gaji standar Damaskus yang jauh dari ekspektasi mereka.
Ketidakpuasan ini bisa menjadi hambatan serius dalam proses reintegrasi. Pemerintah baru dituntut untuk mencari solusi agar transisi ekonomi tidak menimbulkan gejolak baru. Salah satunya dengan skema subsidi atau insentif khusus untuk daerah-daerah yang terkena dampak paling besar.
Para ekonom menilai bahwa tantangan utama terletak pada kesenjangan ekonomi antarwilayah. Selama bertahun-tahun, masing-masing wilayah hidup dengan sistem berbeda, memiliki sumber pendapatan berbeda, bahkan menggunakan mata uang asing dalam transaksi harian. Menyatukan itu semua ke dalam kerangka ekonomi nasional membutuhkan waktu panjang.
Selain itu, kerusakan infrastruktur akibat perang memperparah keadaan. Banyak kawasan industri yang hancur, jalur distribusi terputus, dan sumber daya alam belum dapat dieksploitasi secara maksimal. Hal ini membuat perekonomian nasional belum memiliki basis kuat untuk menopang integrasi.
Namun, pemerintahan baru di Damaskus tetap optimis. Mereka meyakini bahwa reintegrasi ekonomi, meski penuh tantangan, adalah kunci untuk memulihkan stabilitas nasional. Pemerintah berkomitmen menciptakan kebijakan yang lebih adil bagi seluruh kelompok etnis dan wilayah.
Dukungan internasional dipandang penting dalam tahap awal ini. Sejumlah negara menyatakan kesiapan membantu Suriah dalam bentuk investasi dan bantuan rekonstruksi, asalkan ada jaminan transparansi dan reformasi birokrasi.
Di kalangan masyarakat, muncul rasa waswas sekaligus harapan. Sebagian khawatir kehilangan status dan kemakmuran yang pernah mereka nikmati. Namun, sebagian lain percaya bahwa kesetaraan ekonomi akan memperkuat persatuan nasional dan membuka jalan menuju kemakmuran jangka panjang.
Meski begitu, sejumlah pengamat memperingatkan bahwa proses ini harus dijalankan dengan hati-hati. Jika tidak, ketidakpuasan ekonomi bisa berujung pada ketegangan politik yang baru. Sejarah Suriah menunjukkan bahwa ketidakadilan sosial sering menjadi pemicu konflik.
Oleh karena itu, pemerintahan baru perlu menyeimbangkan antara kesetaraan dan keadilan transisi. Memberikan jaring pengaman bagi kelompok yang terdampak, sambil memastikan standar nasional diberlakukan secara bertahap, bisa menjadi jalan tengah.
Kini, Suriah berdiri di persimpangan jalan. Reintegrasi ekonomi bukan sekadar urusan gaji pegawai atau distribusi sumber daya. Ia adalah ujian besar bagi persatuan nasional, sebuah proses yang akan menentukan arah masa depan negara pascaperang.
Jika berhasil, Suriah dapat muncul sebagai negara yang lebih adil dan stabil. Namun, jika gagal, fragmentasi lama bisa kembali menghantui. Reintegrasi ekonomi bukan hanya tantangan teknis, melainkan juga ujian politik, sosial, dan moral bagi seluruh bangsa Suriah.
Di tengah situasi pascaperang yang masih meninggalkan jutaan orang Suriah dalam pengungsian, Program Pangan Dunia (WFP) kembali menjadi sorotan. Lembaga pangan PBB itu dinilai tak seimbang dalam menyalurkan bantuan antara wilayah yang relatif aman dan wilayah yang masih menanggung penderitaan berat.
Hasakah dan sekitarnya yang dikuasai pasukan Kurdi SDF, menjadi salah satu penerima utama program WFP. Melalui mitra lokal, Badan Patriarkal Mar Afram Suryani untuk Pembangunan, ribuan keluarga menerima bantuan berupa kupon pangan dan program gizi untuk ibu hamil serta menyusui. Total sekitar 30 ribu keluarga menjadi penerima manfaat, dengan nilai bantuan mencapai 65 dolar AS per bulan selama setengah tahun.
Namun di saat yang sama, sorotan datang dari barat laut Suriah, khususnya Idlib dan Aleppo, tempat lebih dari 1,5 juta orang pengungsi masih hidup dalam kondisi memprihatinkan. Tenda-tenda reyot, kekurangan air bersih, dan minimnya pangan sudah menjadi realitas sehari-hari. Di wilayah ini, WFP nyaris tak terdengar memberikan program serupa.
Pertanyaan pun muncul: mengapa WFP lebih memilih menyalurkan bantuan melimpah ke wilayah yang relatif stabil dan sudah lama tak tersentuh konflik, sementara kantong-kantong pengungsian terbesar di Idlib dan Aleppo terus menjerit kekurangan? Bukankah prinsip dasar kemanusiaan menuntut keadilan dalam distribusi?
Kritik makin tajam ketika bantuan itu disalurkan melalui lembaga gerejawi. Meski Mar Afram dikenal aktif membantu masyarakat miskin, sulit menghindari kesan bahwa bantuan itu lebih banyak dinikmati komunitas jemaat tertentu. Akibatnya, muncul tudingan bahwa WFP berisiko terjebak dalam pola bantuan yang diskriminatif, meski secara resmi mengatasnamakan netralitas.
Sejumlah analis menilai bahwa WFP terlalu mengutamakan komunitas tertentu daripada yang lain. Tetapi apapun itu seharusnya bukanlah alasan untuk membiarkan jutaan pengungsi di barat laut kelaparan. Dalam konteks kemanusiaan, kebutuhan mendesak harus menjadi prioritas, bukan sekadar akses yang lebih aman.
Masalah ini bukan kali pertama terjadi. Saat konflik Tigray di Ethiopia, WFP juga menuai kritik tajam. Bantuan pangan yang seharusnya menjangkau semua korban malah terkonsentrasi pada pengungsi Tigray. Padahal, jalur distribusi menuju Tigray melewati wilayah Afar, dan di sana ribuan pengungsi Afar korban kekejaman ekspansi milisi Tigray yang justru terabaikan. Apakah karena warga Afar mayoritas Islam lalu diabaikan begitu saja?
Banyak pengungsi Afar saat itu tewas kelaparan karena WFP dinilai hanya menyalurkan bantuan ke satu kelompok, sementara kelompok lain yang sama-sama membutuhkan tak mendapatkan apa-apa. Sejarah kelam inilah yang kini seakan terulang di Suriah.
Perbandingan ini memperkuat argumen bahwa ada kelemahan serius dalam sistem penyaluran WFP baik disengaja maupun tidak yang bisa memicu keresahan kepada pemerintah yang dikiraa membiarkan hal itu terjadi. Alih-alih netral, lembaga itu dinilai rentan terpengaruh oleh kekuatan lokal atau donor yang menentukan arah distribusi. Hal ini menimbulkan kesenjangan dan rasa ketidakadilan di kalangan penerima bantuan.
Pertanyaan besar kini mengemuka: apakah para donor internasional, khususnya negara-negara Arab yang menjadi penyumbang besar WFP, benar-benar mengetahui pola distribusi ini? Atau mereka tutup mata dan percaya begitu saja karena merasa sudah cukup dengan sekadar mengucurkan dana?
Jika benar demikian, maka tanggung jawab moral tidak hanya ada pada WFP, melainkan juga pada para penyumbangnya. Bantuan pangan bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan nyawa yang dipertaruhkan setiap hari di tenda-tenda pengungsian.
Di Idlib dan Aleppo, para pengungsi yang sudah kehilangan rumah dan pekerjaan kini terancam kehilangan harapan hidup. Sementara di Hasakah, bantuan tunai dan kupon belanja mengalir deras. Ketimpangan ini memperlihatkan betapa jauhnya realitas lapangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang selalu didengungkan.
Sebagian kalangan berpendapat, WFP seharusnya segera melakukan evaluasi menyeluruh. Transparansi data penerima, kejelasan kriteria prioritas, dan pemerataan wilayah menjadi hal mendesak. Tanpa itu, kredibilitas lembaga dunia ini akan terus dipertanyakan.
Apalagi Suriah pasca-Assad kini tengah memasuki masa transisi politik. Pemerintahan baru yang dipimpin Ahmed al-Sharaa berusaha memulihkan kepercayaan rakyat terhadap institusi negara. Ironis bila di tengah upaya rekonsiliasi, lembaga internasional justru memperdalam jurang ketidakadilan.
Tidak dapat dipungkiri, WFP memiliki keterbatasan dalam distribusi dan logistik. Namun, tantangan semacam itu tidak bisa menjadi pembenaran untuk membiarkan sebagian besar pengungsi hidup dalam kelaparan. Justru di sinilah letak ujian utama sebuah lembaga kemanusiaan.
Jika WFP benar-benar ingin mengembalikan kepercayaan, langkah pertama adalah memperbaiki persepsi ketidakadilan. Mengalihkan sebagian bantuan ke Idlib dan Aleppo, atau setidaknya menghadirkan program serupa di sana, bisa menjadi solusi awal.
Lebih jauh, keterlibatan donor Arab juga perlu ditingkatkan dalam bentuk pengawasan. Mereka tidak boleh hanya menjadi penyandang dana, tetapi juga harus memastikan bantuan benar-benar menjangkau seluruh komunitas tanpa diskriminasi.
Saat ini, penderitaan para pengungsi Suriah di barat laut adalah cermin nyata dari kegagalan distribusi. Jika tidak segera dibenahi, WFP berisiko kehilangan legitimasi sebagai lembaga pangan terbesar di dunia.
Pada akhirnya, pertanyaan “apakah ada yang salah dengan WFP di Suriah?” tidak bisa dijawab dengan sederhana. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan adanya ketidakadilan serius. Dan selama jutaan pengungsi masih kelaparan di Idlib dan Aleppo, kritik itu akan terus berdengung.
WFP dituntut untuk kembali pada jati dirinya: melayani semua tanpa kecuali dan pilih-pilih. Bukan hanya melayani komunitas tertentu tapi dalam kampanye penggalangan dana memampang wajah komunitas lain yang sejatinya tak dilayani dengan maksimal. Karena di hadapan kemanusiaan, setiap perut lapar memiliki hak yang sama untuk diberi makan.
Di tengah konflik panjang yang menghancurkan sebagian besar Yaman, kota Marib kini muncul sebagai simbol harapan dan pusat pembangunan. Saat Sana’a dikuasai kelompok Houthi dan Aden didominasi Dewan Transisi Selatan (STC), Marib menjadi benteng terakhir bagi pemerintahan Yaman yang diakui dunia internasional. Kota ini berkembang pesat, bukan hanya sebagai basis pertahanan, tetapi juga sebagai pusat ekonomi dan sosial baru.
Awalnya, Marib hanyalah tempat pelarian bagi ribuan pengungsi dari berbagai wilayah Yaman. Setelah Houthi merebut Sana’a pada 2014, banyak keluarga meninggalkan rumah mereka dan mencari perlindungan di kota ini. Dalam beberapa tahun, populasi Marib melonjak drastis. Dari sebuah kota kecil, Marib berubah menjadi pusat urban dengan infrastruktur yang terus berkembang.
Perubahan besar itu didorong oleh sumber daya alam yang melimpah. Minyak dan gas yang tersimpan di wilayah Marib menjadi aset penting bagi pemerintah Yaman. Pendapatan dari sektor energi digunakan untuk membiayai operasional pemerintahan sekaligus membangun infrastruktur kota. Hal ini membuat Marib memiliki daya tarik besar, baik bagi warga lokal maupun para pendatang.
Pusat pembangkit listrik terbesar di Yaman juga berada di Marib. Keberadaan infrastruktur energi ini menjadikan kota tersebut pusat vital dalam menjaga kehidupan sehari-hari jutaan orang. Pipa minyak Ma’rib–Ras Isa menambah nilai strategisnya. Dengan menguasai Marib, pemerintah Yaman mampu menjaga suplai energi tetap berjalan.
Namun, Marib bukan hanya soal minyak dan listrik. Di kota ini, sekolah-sekolah baru berdiri, rumah sakit dibangun, dan jalan raya diperluas. Pembangunan itu menciptakan lapangan kerja, mengurangi angka pengangguran, dan memberi kesempatan bagi masyarakat untuk membangun kembali kehidupan mereka.
Arus pengungsi memang menjadi tantangan tersendiri. Marib harus menampung jutaan warga yang kehilangan tempat tinggal akibat perang. Beban terhadap layanan publik dan sumber daya sangat berat. Meski demikian, kehadiran para pengungsi justru ikut mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui usaha kecil, perdagangan, dan tenaga kerja baru.
Di balik geliat pembangunan, Marib tetap menjadi medan pertarungan strategis. Posisi geografisnya yang menghubungkan Sana’a dengan wilayah timur dan selatan menjadikannya kunci penting dalam konflik. Siapa yang menguasai Marib, berpotensi mengendalikan jalur perdagangan dan suplai di Yaman.
Bagi pemerintah Yaman yang diakui dunia internasional, mempertahankan Marib adalah soal harga diri dan kedaulatan. Kota ini menjadi simbol bahwa pemerintahan sah masih mampu berdiri meski kehilangan banyak wilayah lain. Setiap pembangunan yang berhasil dilakukan di Marib mengirim pesan bahwa Yaman masih punya masa depan.
Serangan Houthi berulang kali mencoba menaklukkan Marib. Namun, pertahanan kota ini tetap kokoh dengan dukungan pasukan lokal dan koalisi internasional. Kegagalan Houthi merebut Marib menegaskan bahwa kota ini bukan sekadar target militer, tetapi juga benteng perlawanan.
Selain itu, Marib kini dipandang sebagai mercusuar stabilitas. Banyak kalangan internasional melihat kota ini sebagai model kecil tentang bagaimana Yaman bisa bangkit pascaperang. Dengan tata kelola yang lebih baik, Marib mampu membangun di tengah keterbatasan dan ancaman.
Perkembangan positif ini juga menumbuhkan rasa percaya diri masyarakat. Warga Marib merasakan perubahan nyata dalam kehidupan mereka, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan. Optimisme itu meluas, menjadi inspirasi bagi warga Yaman di wilayah lain yang masih terjebak dalam konflik.
Tidak sedikit pengamat menyebut Marib sebagai “ibu kota bayangan” bagi Yaman. Ketika Sana’a jatuh ke tangan Houthi dan Aden terjebak dalam rivalitas politik, Marib menawarkan alternatif pusat pemerintahan yang lebih stabil dan produktif.
Namun jalan ke depan masih panjang. Ancaman serangan, krisis kemanusiaan, dan tekanan politik tetap menghantui. Meski demikian, perkembangan Marib menunjukkan bahwa Yaman masih memiliki titik terang di tengah kegelapan perang.
Pemerintah Yaman menjadikan Marib sebagai prioritas dalam agenda rekonstruksi. Setiap proyek pembangunan di kota ini bukan hanya soal kebutuhan ekonomi, melainkan juga pesan politik. Dunia internasional menilai bahwa keberhasilan Marib bisa menjadi batu loncatan menuju perdamaian lebih luas.
Seiring waktu, Marib juga menarik perhatian investor lokal dan asing. Potensi energi, keamanan relatif, serta perkembangan infrastruktur membuat kota ini dianggap sebagai pintu masuk bagi pembangunan kembali Yaman secara keseluruhan.
Namun, kebergantungan pada minyak dan gas masih menjadi tantangan. Diversifikasi ekonomi diperlukan agar Marib tidak hanya bergantung pada sektor energi. Pemerintah mulai mendorong sektor pendidikan, pertanian, dan industri ringan untuk memperkuat fondasi jangka panjang.
Di sisi lain, solidaritas masyarakat Marib menjadi faktor penting. Hubungan erat antara warga lokal dan para pengungsi menciptakan jaringan sosial baru yang mendukung pembangunan bersama. Semangat gotong royong ini menjadi modal berharga dalam menghadapi kesulitan.
Ketahanan Marib di tengah gempuran konflik membuktikan bahwa Yaman masih memiliki peluang untuk bangkit. Kota ini bukan hanya tempat berlindung, tetapi juga pusat harapan yang menunjukkan wajah lain dari Yaman—sebuah negeri yang ingin hidup damai dan sejahtera.
Dengan segala capaian dan tantangan yang ada, Marib kini berdiri sebagai simbol perlawanan, pusat pembangunan, dan mercusuar optimisme. Di tengah kehancuran yang melanda negeri itu, Marib menjadi bukti bahwa masa depan Yaman belum sepenuhnya hilang.
Kemunculan kembali tokoh Kurdi, Siban Hamo, setelah 14 tahun menghilang, langsung memicu gelombang diskusi politik dan militer di Suriah. Dalam wawancara terbarunya, Hamo menyerukan pembentukan dewan militer gabungan antara Damaskus dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), sebuah gagasan yang langsung menimbulkan perdebatan luas.
Pernyataan ini bertolak belakang dengan keinginan resmi pemerintah Damaskus yang sejak lama menekankan agar SDF dibubarkan dan seluruh anggotanya masuk dalam struktur Kementerian Pertahanan. Karena itu, skenario dewan militer gabungan dianggap sebagai langkah berani sekaligus berisiko tinggi dalam peta konflik Suriah.
Hamo, yang lahir di Afrin, dikenal luas sebagai mantan komandan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) sebelum naik ke jajaran komando umum SDF. Reputasinya terbentuk dari kemampuannya menjaga keseimbangan antara kelompok bersenjata di pedesaan Aleppo utara sebelum intervensi Turki tahun 2016.
Dalam periode itu, ia berperan sebagai mediator tidak resmi, walau jarang tampil di publik. Setelah Agustus 2014, Hamo menghilang dari panggung politik maupun militer, hingga kini kembali muncul dengan pernyataan kontroversial.
Pernyataannya tentang dewan militer gabungan mengejutkan, karena bertolak belakang dengan perjanjian antara Presiden Ahmed Al Sharaa dengan pimpinan SDF Mazloum Abdi soal integrasi SDF ke militer Suriah.
Jika hanya kepemimpinan SDF yang digabungkan dalam dewan militer tanpa membubarkan atau mengintegrasikan pasukannya, sebuah perselisihan di masa mendatang tetap akan membuat Suriah rentan terpecah.
Kini, dengan mengusulkan integrasi militer bersama Damaskus, banyak pengamat melihat langkah itu sebagai upaya kompromi politik, meskipun menimbulkan tanda tanya besar tentang arah perjuangan SDF ke depan.
Bagi Damaskus, usulan ini jelas menimbulkan dilema. Pemerintah Suriah selama ini menginginkan kontrol penuh atas wilayah dan pasukan di seluruh negeri, termasuk wilayah utara yang dikuasai SDF.
Jika dewan militer gabungan benar-benar dibentuk, maka Damaskus harus merelakan sebagian otoritas militernya berbagi dengan kelompok yang sebelumnya dianggap separatis. Ini tentu bertentangan dengan prinsip persatuan yang digagas Damaskus.
Sementara bagi SDF, pembentukan dewan gabungan bisa menjadi jembatan politik untuk menghindari pembubaran total. Mereka bisa mendapatkan ruang legalitas dalam struktur negara tanpa kehilangan identitas organisasi sepenuhnya.
Namun, skenario ini tidak mudah. Banyak faksi dalam pemerintahan Suriah yang menolak kompromi, terlebih dengan pasukan Kurdi yang sebelumnya menjadi lawan bentrok.
Selain itu, kelompok eks oposisi lain yang kini bagian dari Kementerian Pertahanan juga akan melihat dewan gabungan ini sebagai bentuk konsolidasi kekuatan baru yang berpotensi menyingkirkan mereka dari proses politik. Hal ini bisa memperpanjang konflik multi-dimensi di Suriah.
Kemunculan kembali Hamo juga memicu spekulasi tentang kemungkinan adanya dukungan regional atau internasional di balik gagasannya. Beberapa analis menilai, ide ini mungkin tidak lahir dari ruang kosong, melainkan bagian dari strategi diplomasi baru. Di Sudan, justru dewan militer ini yang menjadi masalah.
Jika benar demikian, maka Damaskus akan menghadapi tekanan eksternal untuk mempertimbangkan tawaran ini, terutama dari pihak-pihak yang menginginkan stabilitas di kawasan utara Suriah.
Namun, pertanyaan terbesar tetap ada: apakah Damaskus bersedia mengalah dari tuntutannya selama ini? Jika pemerintah Suriah menolak, maka skenario dewan gabungan hanyalah mimpi politik yang sulit terwujud.
Sebaliknya, jika menerima, maka ini akan menjadi preseden baru dalam sejarah militer Suriah—di mana pemerintah pusat berbagi kekuasaan dengan kelompok yang dulu dianggap ancaman.
Bagi masyarakat Suriah, isu ini juga memunculkan harapan sekaligus kekhawatiran. Harapan akan terciptanya kesepakatan politik yang bisa meredakan konflik, tapi juga kekhawatiran akan munculnya konflik baru jika kompromi gagal dijalankan.
Hamo tampaknya ingin membuka ruang dialog, meski banyak kalangan menilai langkahnya lebih banyak mengundang kontroversi ketimbang dukungan.
Dalam kondisi politik Suriah yang rapuh, setiap ide besar seperti dewan militer gabungan akan diuji bukan hanya oleh kepentingan lokal, tapi juga tarik-menarik kepentingan global.
Yang jelas, munculnya kembali Siban Hamo membawa nuansa baru dalam dinamika Suriah. Apakah usulannya menjadi batu loncatan menuju rekonsiliasi, atau sekadar wacana yang segera tenggelam, masih harus menunggu perkembangan selanjutnya.
Pada akhirnya, pertanyaan inti tetap sama: apakah Damaskus siap menerima kompromi yang bertolak belakang dengan keinginannya, atau tetap teguh menuntut pembubaran total SDF? Jawaban ini akan menentukan arah konflik Suriah di masa depan.
Harapan perdamaian di Republik Demokratik Kongo kembali diuji setelah kelompok pemberontak M23 menegaskan komitmennya terhadap mediasi Qatar. Meski perbedaan tajam dengan pemerintah di Kinshasa belum terselesaikan, pernyataan ini memberi ruang optimisme di tengah ketidakpastian. Goma, kota strategis di timur Kongo yang kini menjadi pusat kendali M23, menjadi saksi betapa rumitnya jalan menuju damai.
Kepala Congo River Alliance, Corneille Nangaa, menyampaikan keyakinan bahwa mediasi Qatar masih bisa menjadi jalan keluar. Menurutnya, meski ada pelanggaran kesepakatan dan tenggat waktu yang terlewat, Doha tetap menjadi satu-satunya tempat di mana perundingan langsung bisa berlangsung. Sikap ini menandai pentingnya mediator internasional dalam konflik yang sudah berkepanjangan.
Sejak Januari, Goma berada di bawah kendali M23. Kondisi ini melahirkan persepsi “negara mini” di dalam wilayah Kongo, di mana pemerintahan bayangan M23 mulai membentuk struktur politik dan keamanan sendiri. Keberadaan “negara mini” ini semakin menantang otoritas Kinshasa, sekaligus menambah kompleksitas dalam proses damai.
Deklarasi Prinsip yang ditandatangani pada Juli lalu menjadi dasar harapan. Kesepakatan itu menargetkan dimulainya negosiasi pada Agustus dan tercapainya perjanjian damai pada pertengahan bulan yang sama. Namun, hingga kini semua tenggat terlewati. Hal ini mencerminkan betapa sulitnya menjembatani perbedaan antara M23 dan pemerintah pusat.
Bagi pihak M23, salah satu sumber kekecewaan terbesar adalah kegagalan Kinshasa membebaskan sekitar 700 tahanan sebagaimana tercantum dalam kesepakatan. Penahanan tersebut dianggap sebagai pengkhianatan terhadap janji damai. Sementara dari pihak pemerintah, tuduhan diarahkan kepada M23 yang disebut terus melanjutkan aktivitas militer di berbagai wilayah.
FARDC, angkatan bersenjata pemerintah, menuding M23 melakukan pelanggaran gencatan senjata di sejumlah titik. Sebaliknya, M23 menuduh FARDC melakukan operasi militer di wilayah South Kivu. Pertukaran tuduhan ini membuat kepercayaan publik pada proses damai kian rapuh.
Namun demikian, M23 tetap mengirimkan tim khusus ke Doha untuk fokus membahas mekanisme gencatan senjata dan pembebasan tahanan. Langkah ini menunjukkan bahwa meski penuh kecurigaan, pintu dialog belum sepenuhnya tertutup. Selama masih ada perwakilan yang duduk di meja perundingan, peluang damai masih terbuka.
Goma, yang kini menjadi pusat aktivitas politik M23, memiliki posisi unik. Di satu sisi, kota ini memperlihatkan bahwa M23 berhasil membangun basis kekuasaan yang nyata. Di sisi lain, status ini justru menekan pemerintah untuk segera menemukan solusi karena Goma merupakan kota kunci dalam stabilitas timur Kongo.
Kondisi pengungsi internal di sekitar Goma memperlihatkan wajah kemanusiaan yang kelam. Ribuan orang tinggal di barak-barak darurat, menunggu kepastian apakah perjanjian damai benar-benar bisa diwujudkan. Bagi mereka, setiap kegagalan perundingan berarti perpanjangan penderitaan.
Mediasi Qatar menjadi krusial karena dianggap sebagai pihak netral yang mampu menjembatani kepentingan. Keberhasilan Doha dalam memfasilitasi proses damai di kawasan lain memberi harapan serupa di Kongo. Namun, tantangan utama tetap pada komitmen pihak yang bertikai.
Pemerintah Kongo dituntut untuk konsisten dalam menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Pembebasan tahanan, misalnya, bukan hanya simbol goodwill tetapi juga prasyarat penting untuk membangun kepercayaan. Tanpa langkah konkret, M23 bisa menafsirkan janji Kinshasa sebagai retorika kosong.
Sebaliknya, M23 juga harus menunjukkan kesediaan menahan diri dari operasi militer. Keberlanjutan pertempuran hanya akan memberi alasan bagi pemerintah untuk menunda implementasi kesepakatan. Tanggung jawab ini tidak bisa dihindari jika kelompok itu serius ingin mendapat pengakuan politik.
Konsep “negara mini” di Goma bisa menjadi peluang maupun ancaman. Jika dikelola melalui perundingan, struktur ini dapat bertransformasi menjadi bagian dari kesepakatan otonomi khusus. Namun bila dibiarkan tanpa arah, status itu bisa memperkuat separatisme yang justru memperpanjang konflik.
Bagi masyarakat internasional, terutama PBB dan Uni Afrika, momen ini penting untuk memperkuat tekanan pada kedua pihak. Dukungan politik dan ekonomi bisa diberikan sebagai insentif jika mereka patuh pada gencatan senjata. Sebaliknya, sanksi bisa menjadi alat untuk menekan bila komitmen dilanggar.
Konflik di Kongo selama ini sering terseret dalam kepentingan regional, terutama keterlibatan negara-negara tetangga. Oleh karena itu, keberhasilan mediasi Qatar juga bergantung pada keterlibatan aktor eksternal yang lebih luas. Tanpa itu, setiap kesepakatan bisa runtuh akibat intervensi pihak ketiga.
Harapan damai juga muncul dari kelompok masyarakat sipil di Kongo. Mereka mendorong agar proses perundingan tidak hanya membicarakan kekuasaan, tetapi juga menjawab kebutuhan rakyat, mulai dari keamanan hingga akses ekonomi. Jika tuntutan ini diabaikan, perjanjian damai berisiko rapuh.
Bagi Kinshasa, dilema terbesar adalah bagaimana mengintegrasikan M23 tanpa merusak otoritas negara. Opsi integrasi ke dalam politik formal atau angkatan bersenjata selalu menimbulkan resistensi. Namun, tanpa kompromi, sulit membayangkan jalan damai yang langgeng.
Peluang damai di Goma dan DR Congo masih ada, meski tipis. Syaratnya adalah konsistensi, kepercayaan, dan komitmen nyata dari kedua pihak. Doha hanya bisa memfasilitasi, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan M23 dan pemerintah Kongo.
Sejauh ini, rakyat biasa tetap menjadi penonton sekaligus korban. Mereka menanggung akibat dari kegagalan elite untuk menepati janji. Maka, setiap langkah menuju perdamaian, sekecil apa pun, akan selalu membawa arti besar bagi masa depan Kongo.
Jika Doha berhasil menjaga momentum dan kedua pihak menunjukkan itikad baik, Goma bisa menjadi titik balik sejarah. Dari “negara mini” yang lahir dari konflik, kota itu berpeluang berubah menjadi simbol perdamaian baru di jantung Afrika.