• Dugaan WFP Kurang Jujur dalam Distribusi Pangan di Suriah


    Di tengah situasi pascaperang yang masih meninggalkan jutaan orang Suriah dalam pengungsian, Program Pangan Dunia (WFP) kembali menjadi sorotan. Lembaga pangan PBB itu dinilai tak seimbang dalam menyalurkan bantuan antara wilayah yang relatif aman dan wilayah yang masih menanggung penderitaan berat.

    Hasakah dan sekitarnya yang dikuasai pasukan Kurdi SDF, menjadi salah satu penerima utama program WFP. Melalui mitra lokal, Badan Patriarkal Mar Afram Suryani untuk Pembangunan, ribuan keluarga menerima bantuan berupa kupon pangan dan program gizi untuk ibu hamil serta menyusui. Total sekitar 30 ribu keluarga menjadi penerima manfaat, dengan nilai bantuan mencapai 65 dolar AS per bulan selama setengah tahun.

    Namun di saat yang sama, sorotan datang dari barat laut Suriah, khususnya Idlib dan Aleppo, tempat lebih dari 1,5 juta orang pengungsi masih hidup dalam kondisi memprihatinkan. Tenda-tenda reyot, kekurangan air bersih, dan minimnya pangan sudah menjadi realitas sehari-hari. Di wilayah ini, WFP nyaris tak terdengar memberikan program serupa.

    Pertanyaan pun muncul: mengapa WFP lebih memilih menyalurkan bantuan melimpah ke wilayah yang relatif stabil dan sudah lama tak tersentuh konflik, sementara kantong-kantong pengungsian terbesar di Idlib dan Aleppo terus menjerit kekurangan? Bukankah prinsip dasar kemanusiaan menuntut keadilan dalam distribusi?

    Kritik makin tajam ketika bantuan itu disalurkan melalui lembaga gerejawi. Meski Mar Afram dikenal aktif membantu masyarakat miskin, sulit menghindari kesan bahwa bantuan itu lebih banyak dinikmati komunitas jemaat tertentu. Akibatnya, muncul tudingan bahwa WFP berisiko terjebak dalam pola bantuan yang diskriminatif, meski secara resmi mengatasnamakan netralitas.

    Sejumlah analis menilai bahwa WFP terlalu mengutamakan komunitas tertentu daripada yang lain. Tetapi apapun itu seharusnya bukanlah alasan untuk membiarkan jutaan pengungsi di barat laut kelaparan. Dalam konteks kemanusiaan, kebutuhan mendesak harus menjadi prioritas, bukan sekadar akses yang lebih aman.

    Masalah ini bukan kali pertama terjadi. Saat konflik Tigray di Ethiopia, WFP juga menuai kritik tajam. Bantuan pangan yang seharusnya menjangkau semua korban malah terkonsentrasi pada pengungsi Tigray. Padahal, jalur distribusi menuju Tigray melewati wilayah Afar, dan di sana ribuan pengungsi Afar korban kekejaman ekspansi milisi Tigray yang justru terabaikan. Apakah karena warga Afar mayoritas Islam lalu diabaikan begitu saja?

    Banyak pengungsi Afar saat itu tewas kelaparan karena WFP dinilai hanya menyalurkan bantuan ke satu kelompok, sementara kelompok lain yang sama-sama membutuhkan tak mendapatkan apa-apa. Sejarah kelam inilah yang kini seakan terulang di Suriah.

    Perbandingan ini memperkuat argumen bahwa ada kelemahan serius dalam sistem penyaluran WFP baik disengaja maupun tidak yang bisa memicu keresahan kepada pemerintah yang dikiraa membiarkan hal itu terjadi. Alih-alih netral, lembaga itu dinilai rentan terpengaruh oleh kekuatan lokal atau donor yang menentukan arah distribusi. Hal ini menimbulkan kesenjangan dan rasa ketidakadilan di kalangan penerima bantuan.

    Pertanyaan besar kini mengemuka: apakah para donor internasional, khususnya negara-negara Arab yang menjadi penyumbang besar WFP, benar-benar mengetahui pola distribusi ini? Atau mereka tutup mata dan percaya begitu saja karena merasa sudah cukup dengan sekadar mengucurkan dana?

    Jika benar demikian, maka tanggung jawab moral tidak hanya ada pada WFP, melainkan juga pada para penyumbangnya. Bantuan pangan bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan nyawa yang dipertaruhkan setiap hari di tenda-tenda pengungsian.

    Di Idlib dan Aleppo, para pengungsi yang sudah kehilangan rumah dan pekerjaan kini terancam kehilangan harapan hidup. Sementara di Hasakah, bantuan tunai dan kupon belanja mengalir deras. Ketimpangan ini memperlihatkan betapa jauhnya realitas lapangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang selalu didengungkan.

    Sebagian kalangan berpendapat, WFP seharusnya segera melakukan evaluasi menyeluruh. Transparansi data penerima, kejelasan kriteria prioritas, dan pemerataan wilayah menjadi hal mendesak. Tanpa itu, kredibilitas lembaga dunia ini akan terus dipertanyakan.

    Apalagi Suriah pasca-Assad kini tengah memasuki masa transisi politik. Pemerintahan baru yang dipimpin Ahmed al-Sharaa berusaha memulihkan kepercayaan rakyat terhadap institusi negara. Ironis bila di tengah upaya rekonsiliasi, lembaga internasional justru memperdalam jurang ketidakadilan.

    Tidak dapat dipungkiri, WFP memiliki keterbatasan dalam distribusi dan logistik. Namun, tantangan semacam itu tidak bisa menjadi pembenaran untuk membiarkan sebagian besar pengungsi hidup dalam kelaparan. Justru di sinilah letak ujian utama sebuah lembaga kemanusiaan.

    Jika WFP benar-benar ingin mengembalikan kepercayaan, langkah pertama adalah memperbaiki persepsi ketidakadilan. Mengalihkan sebagian bantuan ke Idlib dan Aleppo, atau setidaknya menghadirkan program serupa di sana, bisa menjadi solusi awal.

    Lebih jauh, keterlibatan donor Arab juga perlu ditingkatkan dalam bentuk pengawasan. Mereka tidak boleh hanya menjadi penyandang dana, tetapi juga harus memastikan bantuan benar-benar menjangkau seluruh komunitas tanpa diskriminasi.

    Saat ini, penderitaan para pengungsi Suriah di barat laut adalah cermin nyata dari kegagalan distribusi. Jika tidak segera dibenahi, WFP berisiko kehilangan legitimasi sebagai lembaga pangan terbesar di dunia.

    Pada akhirnya, pertanyaan “apakah ada yang salah dengan WFP di Suriah?” tidak bisa dijawab dengan sederhana. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan adanya ketidakadilan serius. Dan selama jutaan pengungsi masih kelaparan di Idlib dan Aleppo, kritik itu akan terus berdengung.

    WFP dituntut untuk kembali pada jati dirinya: melayani semua tanpa kecuali dan pilih-pilih. Bukan hanya melayani komunitas tertentu tapi dalam kampanye penggalangan dana memampang wajah komunitas lain yang sejatinya tak dilayani dengan maksimal. Karena di hadapan kemanusiaan, setiap perut lapar memiliki hak yang sama untuk diberi makan.


    loading...
  • 0 comments:

    Post a Comment