Pasca lengsernya rezim Bashar al-Assad, Suriah kini memasuki babak baru yang penuh harapan sekaligus tantangan. Pemerintahan baru yang terbentuk di Damaskus membawa misi besar: menyatukan kembali ekonomi yang terpecah selama bertahun-tahun konflik. Namun, jalan menuju integrasi penuh tidaklah mudah.
Selama lebih dari satu dekade, Suriah hidup dalam realitas ekonomi yang terfragmentasi. Ada ekonomi yang berkembang di bawah dua pemerintahan penyelamat, yakni Syrian Salvation Government (SG) di Idlib dan Syrian Interim Government (SIG) di Azaz. Kini, keduanya telah melebur ke dalam pemerintahan pusat di Damaskus.
Penyatuan ini otomatis membuat seluruh struktur ekonomi dan birokrasi harus diseragamkan. Namun, kebijakan itu membawa dampak langsung yang cukup berat, terutama bagi para pegawai pemerintahan di Idlib dan Azaz. Mereka yang sebelumnya menikmati gaji relatif lebih tinggi, kini harus menerima standar gaji Damaskus yang jauh lebih rendah.
Kondisi ini menimbulkan rasa kecewa di kalangan aparatur sipil. Banyak dari mereka merasa dikorbankan demi keseragaman. Pemerintah baru berupaya meyakinkan bahwa penyesuaian gaji adalah langkah sementara, hingga stabilisasi ekonomi tercapai.
Tidak hanya pegawai, masyarakat umum pun merasakan dampak serupa. Perbedaan harga kebutuhan pokok dan daya beli antarwilayah menjadi sumber ketegangan. Idlib dan Azaz yang sempat bergeliat dengan dukungan eksternal, kini harus menyesuaikan dengan standar ekonomi nasional.
Di sisi lain, wilayah Latakia dan Tartus menghadapi gejolak sosial yang berbeda. Selama era Assad, khususnya di bawah perlindungan elite Alawite, daerah pesisir itu mendapat keistimewaan ekonomi. Kini, perlakuan istimewa tersebut dihapuskan, digantikan dengan prinsip kesetaraan nasional.
Perubahan itu memicu keterkejutan sosial di kalangan masyarakat Alawite. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa gaji, tunjangan, dan fasilitas tidak lagi seistimewa dulu. Pemerintah baru menegaskan, keadilan ekonomi menjadi fondasi utama rekonstruksi nasional.
Hal serupa juga terjadi di Suwaida, basis masyarakat Druze. Kelompok ini sebelumnya memiliki akses istimewa ke sumber daya dan posisi politik. Kini, mereka diperlakukan sama dengan warga lain. Transisi ini menimbulkan kekhawatiran akan ketegangan sosial, mengingat kelompok Druze memiliki pengaruh politik yang cukup besar.
Sementara itu, integrasi wilayah Kurdi di timur laut juga belum sepenuhnya dimulai. Syrian Democratic Forces (SDF) masih menjadi entitas otonom yang memiliki sistem administratif sendiri. Jika kelak bergabung, para pegawai dan masyarakat Kurdi pun harus menerima gaji standar Damaskus yang jauh dari ekspektasi mereka.
Ketidakpuasan ini bisa menjadi hambatan serius dalam proses reintegrasi. Pemerintah baru dituntut untuk mencari solusi agar transisi ekonomi tidak menimbulkan gejolak baru. Salah satunya dengan skema subsidi atau insentif khusus untuk daerah-daerah yang terkena dampak paling besar.
Para ekonom menilai bahwa tantangan utama terletak pada kesenjangan ekonomi antarwilayah. Selama bertahun-tahun, masing-masing wilayah hidup dengan sistem berbeda, memiliki sumber pendapatan berbeda, bahkan menggunakan mata uang asing dalam transaksi harian. Menyatukan itu semua ke dalam kerangka ekonomi nasional membutuhkan waktu panjang.
Selain itu, kerusakan infrastruktur akibat perang memperparah keadaan. Banyak kawasan industri yang hancur, jalur distribusi terputus, dan sumber daya alam belum dapat dieksploitasi secara maksimal. Hal ini membuat perekonomian nasional belum memiliki basis kuat untuk menopang integrasi.
Namun, pemerintahan baru di Damaskus tetap optimis. Mereka meyakini bahwa reintegrasi ekonomi, meski penuh tantangan, adalah kunci untuk memulihkan stabilitas nasional. Pemerintah berkomitmen menciptakan kebijakan yang lebih adil bagi seluruh kelompok etnis dan wilayah.
Dukungan internasional dipandang penting dalam tahap awal ini. Sejumlah negara menyatakan kesiapan membantu Suriah dalam bentuk investasi dan bantuan rekonstruksi, asalkan ada jaminan transparansi dan reformasi birokrasi.
Di kalangan masyarakat, muncul rasa waswas sekaligus harapan. Sebagian khawatir kehilangan status dan kemakmuran yang pernah mereka nikmati. Namun, sebagian lain percaya bahwa kesetaraan ekonomi akan memperkuat persatuan nasional dan membuka jalan menuju kemakmuran jangka panjang.
Meski begitu, sejumlah pengamat memperingatkan bahwa proses ini harus dijalankan dengan hati-hati. Jika tidak, ketidakpuasan ekonomi bisa berujung pada ketegangan politik yang baru. Sejarah Suriah menunjukkan bahwa ketidakadilan sosial sering menjadi pemicu konflik.
Oleh karena itu, pemerintahan baru perlu menyeimbangkan antara kesetaraan dan keadilan transisi. Memberikan jaring pengaman bagi kelompok yang terdampak, sambil memastikan standar nasional diberlakukan secara bertahap, bisa menjadi jalan tengah.
Kini, Suriah berdiri di persimpangan jalan. Reintegrasi ekonomi bukan sekadar urusan gaji pegawai atau distribusi sumber daya. Ia adalah ujian besar bagi persatuan nasional, sebuah proses yang akan menentukan arah masa depan negara pascaperang.
Jika berhasil, Suriah dapat muncul sebagai negara yang lebih adil dan stabil. Namun, jika gagal, fragmentasi lama bisa kembali menghantui. Reintegrasi ekonomi bukan hanya tantangan teknis, melainkan juga ujian politik, sosial, dan moral bagi seluruh bangsa Suriah.
loading...
0 comments:
Post a Comment