• Guru Pedesaan Aleppo Suriah Gelar Protes Menuntut Kepastian


    Di wilayah pedesaan utara Aleppo, Suriah, ketidakpastian melanda para guru dan pegawai yang pernah berada di bawah naungan lembaga eks pemerintahan Interim Government (SIG). Setelah lembaga-lembaga itu dibubarkan, muncul kejutan budaya yang mengakibatkan para tenaga pengajar dan pegawai administratif terbengkalai tanpa kepastian masa depan. Situasi ini semakin pelik karena dukungan finansial yang sempat diberikan oleh Turki ikut dihentikan.

    Para guru kini berada dalam kondisi sulit. Mereka kehilangan pekerjaan, pendapatan, dan status yang selama ini menopang kehidupan sehari-hari. Beberapa dari mereka bahkan disebut sebagai pengungsi internal, yang sudah terusir dari rumah-rumah mereka akibat perang. Dengan beban ganda, mereka kini menghadapi masa depan yang semakin suram di tengah transisi pemerintahan baru di Aleppo.

    Video yang beredar menunjukkan sekelompok guru melakukan aksi unjuk rasa di depan Direktorat Pendidikan Aleppo. Dalam rekaman itu, para pengajar menuntut agar marginalisasi yang mereka alami segera diakhiri. Mereka meminta untuk dipekerjakan secara permanen dalam sistem pendidikan resmi yang kini dikelola oleh pemerintahan Aleppo.

    Aksi ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, mereka juga telah menggelar demonstrasi di sejumlah desa di pedesaan utara. Namun, upaya mereka kala itu tidak mendapatkan tanggapan berarti dari pihak berwenang. Karena itulah, protes kemudian digeser ke pusat administrasi di Aleppo dengan harapan bisa mengetuk hati para pengambil kebijakan.

    Momen yang memicu kekecewaan besar adalah ketika subsidi dari Turki dihentikan saat mereka tengah mengikuti ujian kelayakan. Para guru menganggap hal ini sebagai bentuk ketidakadilan karena mereka merasa sedang berjuang untuk bertahan, namun justru kehilangan sokongan di saat genting.

    Mereka menegaskan bahwa pengorbanan yang telah dilakukan selama perang seharusnya mendapat penghargaan. Menurut mereka, setelah kehilangan rumah, harta benda, bahkan anggota keluarga, hak mereka untuk bekerja dan diakui sebagai tenaga pendidik resmi sudah seharusnya diberikan.

    Aksi protes ini tidak hanya soal gaji. Bagi para guru, ini adalah soal martabat dan pengakuan. Mereka ingin diakui sebagai bagian dari masyarakat yang ikut membangun kembali Suriah, bukan sekadar pengungsi atau pegawai sementara tanpa masa depan yang jelas.

    Sejumlah pengamat menilai bahwa pembubaran lembaga eks SIG memang membawa dampak administratif yang rumit. Alih-alih meleburkan lembaga lama, seharusnya pemerintah Aleppo mengkekalkan struktur yang ada dengan mengubahnya menjadi badan pengelola otonom.

    Dengan pola otonomi, lembaga itu bisa tetap berjalan tanpa membebani langsung keuangan pemerintahan Aleppo yang masih dalam tahap awal konsolidasi. Model semacam ini diyakini akan memberi ruang transisi yang lebih tenang bagi para pegawai dan guru yang terdampak.

    Skema transisi itu idealnya berlangsung antara lima hingga sepuluh tahun. Dalam kurun waktu tersebut, perekonomian Aleppo diharapkan membaik, sehingga pemerintah bisa secara penuh menyerap para pegawai ke dalam struktur resminya tanpa risiko keuangan yang berlebihan.

    Namun kenyataan di lapangan jauh berbeda. Pembubaran mendadak membuat ratusan orang kehilangan posisi tanpa rencana keberlanjutan yang jelas. Hal ini yang kini mendorong demonstrasi berulang di pedesaan dan pusat kota Aleppo.

    Protes di depan Direktorat Pendidikan menjadi simbol keresahan yang menumpuk. Para guru berharap suara mereka akan sampai ke Damaskus, bahkan berencana melanjutkan aksi jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

    Sebagian guru menyebut, perjuangan mereka bukan sekadar untuk pekerjaan, melainkan untuk mengembalikan kehidupan normal yang telah hancur akibat perang panjang. Mereka ingin kembali menjadi bagian dari masyarakat produktif dengan peran yang jelas.

    Direktorat Pendidikan Aleppo sendiri belum memberikan tanggapan resmi terkait tuntutan itu. Diamnya pihak berwenang justru menambah ketegangan dan rasa frustasi di kalangan guru.

    Di sisi lain, masyarakat sekitar ikut bersimpati. Banyak yang menilai para guru adalah kelompok yang paling berjasa dalam membentuk generasi baru, sehingga sudah seharusnya mereka diprioritaskan dalam program pemulihan.

    Tanpa adanya kepastian, risiko besar adalah hilangnya semangat para guru untuk tetap tinggal di wilayah tersebut. Tidak sedikit yang mulai memikirkan jalan keluar lain, termasuk migrasi atau mencari pekerjaan serabutan.

    Hal ini tentu merugikan sistem pendidikan Aleppo yang sedang dibangun kembali. Kekurangan tenaga pengajar bisa menjadi hambatan serius dalam upaya pemulihan sosial dan budaya di wilayah pascaperang.

    Para analis politik menyebut, jika pemerintah Aleppo gagal menemukan solusi, maka gelombang protes bisa meluas ke sektor lain. Kepercayaan publik terhadap pemerintahan baru pun berpotensi melemah.

    Kisah para guru pedesaan Aleppo ini menjadi potret rapuhnya transisi pascaperang. Tanpa kebijakan transisi yang matang, korban terbesar selalu rakyat kecil yang justru paling berperan dalam membangun kembali kehidupan sehari-hari.

    Kini semua mata tertuju pada pemerintah Aleppo, apakah mereka mampu memberikan jalan keluar yang realistis bagi para guru dan pegawai yang ditinggalkan. Sebab, hanya dengan kepastian dan keadilan, kepercayaan masyarakat bisa kembali ditegakkan.

    loading...
  • 0 comments:

    Post a Comment