• Kontroversi Usulan Dewan Militer Damaskus-SDF


    Kemunculan kembali tokoh Kurdi, Siban Hamo, setelah 14 tahun menghilang, langsung memicu gelombang diskusi politik dan militer di Suriah. Dalam wawancara terbarunya, Hamo menyerukan pembentukan dewan militer gabungan antara Damaskus dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), sebuah gagasan yang langsung menimbulkan perdebatan luas.

    Pernyataan ini bertolak belakang dengan keinginan resmi pemerintah Damaskus yang sejak lama menekankan agar SDF dibubarkan dan seluruh anggotanya masuk dalam struktur Kementerian Pertahanan. Karena itu, skenario dewan militer gabungan dianggap sebagai langkah berani sekaligus berisiko tinggi dalam peta konflik Suriah.

    Hamo, yang lahir di Afrin, dikenal luas sebagai mantan komandan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) sebelum naik ke jajaran komando umum SDF. Reputasinya terbentuk dari kemampuannya menjaga keseimbangan antara kelompok bersenjata di pedesaan Aleppo utara sebelum intervensi Turki tahun 2016.

    Dalam periode itu, ia berperan sebagai mediator tidak resmi, walau jarang tampil di publik. Setelah Agustus 2014, Hamo menghilang dari panggung politik maupun militer, hingga kini kembali muncul dengan pernyataan kontroversial.

    Pernyataannya tentang dewan militer gabungan mengejutkan, karena bertolak belakang dengan perjanjian antara Presiden Ahmed Al Sharaa dengan pimpinan SDF Mazloum Abdi soal integrasi SDF ke militer Suriah.

    Jika hanya kepemimpinan SDF yang digabungkan dalam dewan militer tanpa membubarkan atau mengintegrasikan pasukannya, sebuah perselisihan di masa mendatang tetap akan membuat Suriah rentan terpecah.

    Kini, dengan mengusulkan integrasi militer bersama Damaskus, banyak pengamat melihat langkah itu sebagai upaya kompromi politik, meskipun menimbulkan tanda tanya besar tentang arah perjuangan SDF ke depan.

    Bagi Damaskus, usulan ini jelas menimbulkan dilema. Pemerintah Suriah selama ini menginginkan kontrol penuh atas wilayah dan pasukan di seluruh negeri, termasuk wilayah utara yang dikuasai SDF.

    Jika dewan militer gabungan benar-benar dibentuk, maka Damaskus harus merelakan sebagian otoritas militernya berbagi dengan kelompok yang sebelumnya dianggap separatis. Ini tentu bertentangan dengan prinsip persatuan yang digagas Damaskus.

    Sementara bagi SDF, pembentukan dewan gabungan bisa menjadi jembatan politik untuk menghindari pembubaran total. Mereka bisa mendapatkan ruang legalitas dalam struktur negara tanpa kehilangan identitas organisasi sepenuhnya.

    Namun, skenario ini tidak mudah. Banyak faksi dalam pemerintahan Suriah yang menolak kompromi, terlebih dengan pasukan Kurdi yang sebelumnya menjadi lawan bentrok.

    Selain itu, kelompok eks oposisi lain yang kini bagian dari Kementerian Pertahanan juga akan melihat dewan gabungan ini sebagai bentuk konsolidasi kekuatan baru yang berpotensi menyingkirkan mereka dari proses politik. Hal ini bisa memperpanjang konflik multi-dimensi di Suriah.

    Kemunculan kembali Hamo juga memicu spekulasi tentang kemungkinan adanya dukungan regional atau internasional di balik gagasannya. Beberapa analis menilai, ide ini mungkin tidak lahir dari ruang kosong, melainkan bagian dari strategi diplomasi baru. Di Sudan, justru dewan militer ini yang menjadi masalah.

    Jika benar demikian, maka Damaskus akan menghadapi tekanan eksternal untuk mempertimbangkan tawaran ini, terutama dari pihak-pihak yang menginginkan stabilitas di kawasan utara Suriah.

    Namun, pertanyaan terbesar tetap ada: apakah Damaskus bersedia mengalah dari tuntutannya selama ini? Jika pemerintah Suriah menolak, maka skenario dewan gabungan hanyalah mimpi politik yang sulit terwujud.

    Sebaliknya, jika menerima, maka ini akan menjadi preseden baru dalam sejarah militer Suriah—di mana pemerintah pusat berbagi kekuasaan dengan kelompok yang dulu dianggap ancaman.

    Bagi masyarakat Suriah, isu ini juga memunculkan harapan sekaligus kekhawatiran. Harapan akan terciptanya kesepakatan politik yang bisa meredakan konflik, tapi juga kekhawatiran akan munculnya konflik baru jika kompromi gagal dijalankan.

    Hamo tampaknya ingin membuka ruang dialog, meski banyak kalangan menilai langkahnya lebih banyak mengundang kontroversi ketimbang dukungan.

    Dalam kondisi politik Suriah yang rapuh, setiap ide besar seperti dewan militer gabungan akan diuji bukan hanya oleh kepentingan lokal, tapi juga tarik-menarik kepentingan global.

    Yang jelas, munculnya kembali Siban Hamo membawa nuansa baru dalam dinamika Suriah. Apakah usulannya menjadi batu loncatan menuju rekonsiliasi, atau sekadar wacana yang segera tenggelam, masih harus menunggu perkembangan selanjutnya.

    Pada akhirnya, pertanyaan inti tetap sama: apakah Damaskus siap menerima kompromi yang bertolak belakang dengan keinginannya, atau tetap teguh menuntut pembubaran total SDF? Jawaban ini akan menentukan arah konflik Suriah di masa depan.


    loading...
  • 0 comments:

    Post a Comment