• Peluang Damai 'Negara Mini' Goma dan DR Congo

    Harapan perdamaian di Republik Demokratik Kongo kembali diuji setelah kelompok pemberontak M23 menegaskan komitmennya terhadap mediasi Qatar. Meski perbedaan tajam dengan pemerintah di Kinshasa belum terselesaikan, pernyataan ini memberi ruang optimisme di tengah ketidakpastian. Goma, kota strategis di timur Kongo yang kini menjadi pusat kendali M23, menjadi saksi betapa rumitnya jalan menuju damai.

    Kepala Congo River Alliance, Corneille Nangaa, menyampaikan keyakinan bahwa mediasi Qatar masih bisa menjadi jalan keluar. Menurutnya, meski ada pelanggaran kesepakatan dan tenggat waktu yang terlewat, Doha tetap menjadi satu-satunya tempat di mana perundingan langsung bisa berlangsung. Sikap ini menandai pentingnya mediator internasional dalam konflik yang sudah berkepanjangan.

    Sejak Januari, Goma berada di bawah kendali M23. Kondisi ini melahirkan persepsi “negara mini” di dalam wilayah Kongo, di mana pemerintahan bayangan M23 mulai membentuk struktur politik dan keamanan sendiri. Keberadaan “negara mini” ini semakin menantang otoritas Kinshasa, sekaligus menambah kompleksitas dalam proses damai.

    Deklarasi Prinsip yang ditandatangani pada Juli lalu menjadi dasar harapan. Kesepakatan itu menargetkan dimulainya negosiasi pada Agustus dan tercapainya perjanjian damai pada pertengahan bulan yang sama. Namun, hingga kini semua tenggat terlewati. Hal ini mencerminkan betapa sulitnya menjembatani perbedaan antara M23 dan pemerintah pusat.

    Bagi pihak M23, salah satu sumber kekecewaan terbesar adalah kegagalan Kinshasa membebaskan sekitar 700 tahanan sebagaimana tercantum dalam kesepakatan. Penahanan tersebut dianggap sebagai pengkhianatan terhadap janji damai. Sementara dari pihak pemerintah, tuduhan diarahkan kepada M23 yang disebut terus melanjutkan aktivitas militer di berbagai wilayah.

    FARDC, angkatan bersenjata pemerintah, menuding M23 melakukan pelanggaran gencatan senjata di sejumlah titik. Sebaliknya, M23 menuduh FARDC melakukan operasi militer di wilayah South Kivu. Pertukaran tuduhan ini membuat kepercayaan publik pada proses damai kian rapuh.

    Namun demikian, M23 tetap mengirimkan tim khusus ke Doha untuk fokus membahas mekanisme gencatan senjata dan pembebasan tahanan. Langkah ini menunjukkan bahwa meski penuh kecurigaan, pintu dialog belum sepenuhnya tertutup. Selama masih ada perwakilan yang duduk di meja perundingan, peluang damai masih terbuka.

    Goma, yang kini menjadi pusat aktivitas politik M23, memiliki posisi unik. Di satu sisi, kota ini memperlihatkan bahwa M23 berhasil membangun basis kekuasaan yang nyata. Di sisi lain, status ini justru menekan pemerintah untuk segera menemukan solusi karena Goma merupakan kota kunci dalam stabilitas timur Kongo.

    Kondisi pengungsi internal di sekitar Goma memperlihatkan wajah kemanusiaan yang kelam. Ribuan orang tinggal di barak-barak darurat, menunggu kepastian apakah perjanjian damai benar-benar bisa diwujudkan. Bagi mereka, setiap kegagalan perundingan berarti perpanjangan penderitaan.

    Mediasi Qatar menjadi krusial karena dianggap sebagai pihak netral yang mampu menjembatani kepentingan. Keberhasilan Doha dalam memfasilitasi proses damai di kawasan lain memberi harapan serupa di Kongo. Namun, tantangan utama tetap pada komitmen pihak yang bertikai.

    Pemerintah Kongo dituntut untuk konsisten dalam menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Pembebasan tahanan, misalnya, bukan hanya simbol goodwill tetapi juga prasyarat penting untuk membangun kepercayaan. Tanpa langkah konkret, M23 bisa menafsirkan janji Kinshasa sebagai retorika kosong.

    Sebaliknya, M23 juga harus menunjukkan kesediaan menahan diri dari operasi militer. Keberlanjutan pertempuran hanya akan memberi alasan bagi pemerintah untuk menunda implementasi kesepakatan. Tanggung jawab ini tidak bisa dihindari jika kelompok itu serius ingin mendapat pengakuan politik.

    Konsep “negara mini” di Goma bisa menjadi peluang maupun ancaman. Jika dikelola melalui perundingan, struktur ini dapat bertransformasi menjadi bagian dari kesepakatan otonomi khusus. Namun bila dibiarkan tanpa arah, status itu bisa memperkuat separatisme yang justru memperpanjang konflik.

    Bagi masyarakat internasional, terutama PBB dan Uni Afrika, momen ini penting untuk memperkuat tekanan pada kedua pihak. Dukungan politik dan ekonomi bisa diberikan sebagai insentif jika mereka patuh pada gencatan senjata. Sebaliknya, sanksi bisa menjadi alat untuk menekan bila komitmen dilanggar.

    Konflik di Kongo selama ini sering terseret dalam kepentingan regional, terutama keterlibatan negara-negara tetangga. Oleh karena itu, keberhasilan mediasi Qatar juga bergantung pada keterlibatan aktor eksternal yang lebih luas. Tanpa itu, setiap kesepakatan bisa runtuh akibat intervensi pihak ketiga.

    Harapan damai juga muncul dari kelompok masyarakat sipil di Kongo. Mereka mendorong agar proses perundingan tidak hanya membicarakan kekuasaan, tetapi juga menjawab kebutuhan rakyat, mulai dari keamanan hingga akses ekonomi. Jika tuntutan ini diabaikan, perjanjian damai berisiko rapuh.

    Bagi Kinshasa, dilema terbesar adalah bagaimana mengintegrasikan M23 tanpa merusak otoritas negara. Opsi integrasi ke dalam politik formal atau angkatan bersenjata selalu menimbulkan resistensi. Namun, tanpa kompromi, sulit membayangkan jalan damai yang langgeng.

    Peluang damai di Goma dan DR Congo masih ada, meski tipis. Syaratnya adalah konsistensi, kepercayaan, dan komitmen nyata dari kedua pihak. Doha hanya bisa memfasilitasi, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan M23 dan pemerintah Kongo.

    Sejauh ini, rakyat biasa tetap menjadi penonton sekaligus korban. Mereka menanggung akibat dari kegagalan elite untuk menepati janji. Maka, setiap langkah menuju perdamaian, sekecil apa pun, akan selalu membawa arti besar bagi masa depan Kongo.

    Jika Doha berhasil menjaga momentum dan kedua pihak menunjukkan itikad baik, Goma bisa menjadi titik balik sejarah. Dari “negara mini” yang lahir dari konflik, kota itu berpeluang berubah menjadi simbol perdamaian baru di jantung Afrika.

    loading...
  • 0 comments:

    Post a Comment